Blog

“Ini Bukan Hong Kong”: Rencana Rumah Subsidi 18m² Pemerintah Picu Kecaman

18 Juni 2025

Web Designer

Rencana pemerintah Indonesia untuk mengecilkan ukuran rumah subsidi tapak menuai kritik tajam dari kalangan perencana kota, anggota DPR, akademisi, hingga masyarakat sipil. Para penentang memperingatkan bahwa kebijakan ini berisiko merendahkan martabat warga dan melanggar regulasi perumahan yang berlaku.

Dalam rancangan keputusan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), rumah subsidi yang baru akan berukuran hanya 18 meter persegi, dibangun di atas lahan seluas 25 meter persegi. Ini turun drastis dari ukuran saat ini, yaitu 21 meter persegi untuk bangunan dan 60 meter persegi untuk lahan—bahkan lebih kecil dari kamar hotel biasa.

"Bukan Hong Kong, Kita Masih Punya Tanah"

Yanuar Arif Wibowo, anggota Komisi V DPR, menegaskan dalam forum Investor Daily bahwa rencana ini melanggar UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan, yang menyatakan bahwa rumah subsidi minimal harus berukuran 36 meter persegi.

“Kita bukan Hong Kong. Kita masih punya tanah. Jangan ubah rumah jadi kandang permanen,” ujarnya, Selasa.

Sebagai perbandingan, Hong Kong dikenal dengan “nano flats” yang sangat sempit, umumnya berukuran di bawah 24 meter persegi, bahkan ada yang hanya 12 meter persegi, akibat keterbatasan lahan dan harga properti yang sangat tinggi.

Yanuar memperingatkan bahwa penggunaan subsidi publik seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) untuk rumah yang lebih kecil dari batas legal dapat dianggap melanggar hukum dan konstitusi.

“Kalau mau bangun rumah 18 meter persegi, jadikan proyek komersial, jangan pakai dana publik,” tambahnya.

Pakar Kebijakan dan Arsitek: Ini Tidak Manusiawi

Trubus Rahadiansyah, pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, menyebut rencana ini keliru. Ia menegaskan bahwa rumah tapak subsidi sebaiknya tetap minimal 36 meter persegi.

“Bahkan 21 meter persegi itu sudah terlalu sempit. Menguranginya lagi itu tidak manusiawi,” ujar Trubus kepada beritasatu.com, Senin.

Ia juga menilai bahwa mengecilkan ukuran rumah tidak menyelesaikan masalah backlog perumahan yang kini diperkirakan mencapai 15 juta unit. Sebagai solusi, ia mendorong pembangunan hunian vertikal seperti apartemen.

“Kalau di bawah 21 meter persegi, lebih baik dibangun vertikal. Lahan memang terbatas, tapi martabat manusia tidak boleh dikorbankan,” tegasnya.

Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Georgius Budi Yulianto, turut menyuarakan penolakan. Ia menyebut rumah 18 meter persegi sama dengan setengah ukuran garasi mobil, dan mempertanyakan nilai kemanusiaannya.

“Di mana tempat menangis dengan tenang, tempat anak bermain, atau sekadar bernapas?” katanya emosional.

Bagi Georgius, arsitektur seharusnya menciptakan ruang untuk tumbuh dan merasa aman, bukan sekadar bertahan hidup.

“Kita tidak bicara soal kemewahan. Kita bicara soal hak untuk hidup layak,” tambahnya.

Analis Properti: Jangan Sampai Jadi 'Subsi-Die'

Analis properti Anton Sitorus menekankan bahwa subsidi perumahan seharusnya meningkatkan kualitas hidup, bukan sebaliknya. Ia bahkan mengutip candaan dari media sosial:

“Kalau terlalu sempit, itu bukan rumah subsidi, tapi subsi-die.”

Kementerian PUPR Membela Diri: Target Gen Z dan Profesional Muda

Meski mendapat gelombang kritik, pihak Kementerian PUPR tetap membela rencana tersebut. Menurut Sri Haryati, Dirjen Perumahan, unit mikro ini ditujukan untuk pekerja Gen Z dan profesional muda yang lebih mengutamakan lokasi strategis daripada luas ruang.

“Kami menanggapi kebutuhan segmen yang ingin rumah terjangkau dekat tempat kerja,” jelasnya.

Sri Haryati menambahkan bahwa rancangan ini masih dalam tahap kajian dan terbuka untuk masukan dari pemangku kepentingan. Draf peraturan tersebut telah diedarkan ke pengembang dan asosiasi seperti REI, Kadin, dan HIPMI.

Opsi rumah mikro ini akan dibatasi di kawasan padat perkotaan, sementara untuk daerah pedesaan tetap mengikuti standar yang berlaku.

Peringatan: Jangan Korbankan Kelayakan Demi Target Angka

Meski pemerintah menargetkan pembangunan tiga juta rumah hingga 2026, para pengkritik mengingatkan agar upaya mengejar angka tidak mengorbankan kualitas hidup.

“Ini bukan soal kejar jumlah saja,” kata Yanuar.

“Ini soal memastikan setiap warga Indonesia bisa menyebut rumahnya sebagai tempat yang bermartabat dan penuh harapan.”

Image

About Me

Nama saya Yofie Setiawan. Sebagai Web Designer dan Konsultan SEO, saya berdedikasi membantu bisnis membangun kehadiran online yang efektif dan menarik. Dengan keahlian dalam desain website, pengalaman pengguna (UX), Search Engine Optimization (SEO), dan analisis, saya bekerja erat dengan klien untuk memahami kebutuhan unik mereka dan mengembangkan strategi yang disesuaikan demi mencapai tujuan mereka. Apakah Anda ingin meningkatkan performa website, mendongkrak visibilitas online, atau meningkatkan konversi, saya memiliki keterampilan dan pengalaman untuk membantu Anda berhasil.

Get In Touch!

Jl. Cempaka X No.15
Suvarna Padi
Tangerang 15560

Image